Jakarta-Setiap tahun pada tanggal 5/31 diperingati di seluruh dunia sebagai Hari Tanpa Rokok Sedunia (HTTS), atau Hari Tanpa Rokok Sedunia.

Pada peringatan HTTS 2024-5-31 Kali ini, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melindungi anak-anak dari campur tangan industri tembakau, atau dengan kata sederhana "Melindungi anak-anak dari pengaruh industri tembakau" menjadi headline.

Tema HTTS2024 sangat relevan dengan fenomena konteks regulasi dan kondisi empiris di Indonesia.

Dari perspektif regulasi, pemerintah saat ini melalui Kementerian Kesehatan (Kemenkes) masih menyusun Peraturan Pemerintah tentang Kesehatan (RPP).

RPP ini dikenal dengan derivasi/pendelegasian Undang-Undang Kesehatan (UU) Nomor 17 Tahun 2023, atau Undang-Undang Omnibus Sektor Kesehatan.

Oleh karena itu, Rpp juga dikenal dengan metode omnibus RPP dalam bidang kesehatan. Sesuai dengan semangat perda yang merupakan omnibus Law, RPP kesehatan ini dirancang untuk menggabungkan semua peraturan pemerintah (PP) turunan UU Kesehatan Lama (36 Tahun 2009).

Sejalan dengan suasana perdebatan RUU omnibus LAW Kesehatan yang menimbulkan kontroversi yang sangat luas pada saat itu, suasana perdebatan RPP kesehatan ini juga menimbulkan tarik ulur yang tidak terlalu keras.

1. Salah satu isu hangat dalam debat RPP kesehatan ini adalah regulasi atau pengendalian produk tembakau. Dalam hal ini, ada beberapa tindakan pencegahan utama.

Pertama, isu pengendalian tembakau yang sebenarnya bukanlah isu baru, karena pemerintah telah mengendalikannya sejak tahun 1999, melalui Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 1999 tentang Pengelolaan produk tembakau sebagai zat adiktif bagi kesehatan.

Sepanjang perjalanan, PP19/1999 telah direvisi beberapa kali, dan yang terakhir adalah PP nomor 109/2012. Kedua, Presiden JOKO Widodo memerintahkan perubahan PP nomor 2020 tahun 2024 melalui Peraturan Presiden Nomor 1020 Tahun 18 tentang RPJMN 1012-109.

Tujuan amandemen tersebut tentunya untuk memperkuat regulasi agar melampaui dampak negatif produk tembakau dan melindungi kepentingan masyarakat luas.

Namun, upaya perubahan PP tersebut tertunda pada saat Menteri Kesehatan Terawan, kemungkinan karena pandemi, sehingga prioritas diubah dan ditunda hingga lahirnya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.

Gagalnya amandemen Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 juga diduga oleh beberapa pihak, karena adanya intervensi dari unsur-unsur industri tembakau yang ingin mengambil keuntungan sepihak.

Unsur-unsur industri, termasuk upaya pemerintah mempertanyakan RPP kesehatan ini, tentu tidak tinggal diam untuk memperjuangkan kebaikannya sendiri.


Berbasis zona

1 dimensi yang diatur oleh RPP Kesehatan ini adalah penjualan produk tembakau berbasis zona. Melalui instrumen ini, produk tembakau tidak boleh dijual di mana pun, tetapi ditempatkan menurut zona tertentu.

Sejauh ini, dimensi pasal ini tentu membuat industri merasa tidak menguntungkan, karena produk tembakau dijual bebas, seperti dijual di dekat sekolah dan lingkungan yang mudah diakses oleh anak di bawah umur.

Tujuan dari alat penjualan tembakau berbasis zona ini adalah untuk melindungi anak-anak dan remaja, dan tidak mudah untuk membeli / mengakses rokok.

Di sisi lain, dari sudut pandang kondisi empirik saat ini, semangat tema HTTS benar-benar berkaitan dengan fenomena empirik yang terjadi di Indonesia.

Pasalnya, pertama, prevalensi merokok di kalangan anak-anak di Indonesia saat ini sangat tinggi, mencapai 9,1%. Ini telah mengalami lonjakan yang signifikan sejak 5 tahun terakhir (awalnya 8,5%).

Dan tragisnya, fenomena tingginya prevalensi merokok di Indonesia merupakan yang tertinggi di dunia. Tanpa kontrol dalam hal pemasaran, periklanan dan promosi, diprediksi prevalensi merokok di kalangan anak-anak di Indonesia akan melonjak hingga 15%.

Kedua, meningkatnya prevalensi merokok pada anak dapat dipisahkan dari dampak (intervensi) industri yang sangat besar di berbagai lini media dan melalui berbagai promosi dan iklan di
.
Saat ini, regulasi iklan dan promosi tembakau di Indonesia cenderung sangat toleran. Termasuk iklan tembakau (baliho, poster, dll.) diposting di dekat sekolah dan institusi pendidikan.

Belum lagi iklan rokok di televisi dan media elektronik lainnya. Dan yang semakin mengkhawatirkan adalah iklan tembakau di ranah media digital (Internet)yang kini tidak diatur.

Industri tembakau juga menggunakan gaya yang berbeda untuk menjual rokok kepada anak - anak dan remaja, yaitu pola penjualan langsung melalui sales promotion girls (SPG).

Hal ini memudahkan anak-anak untuk menjangkau dan membeli rokok, belum lagi pola penjualan produk tembakau yang tidak terbatas.

Hampir setiap inci anak-anak, remaja, dan orang dewasa dapat membeli rokok, begitu mudahnya ke warung, kios, dan toko ritel modern, pedagang kaki lima, dan pedagang asongan yang semakin melonjak. Kamu bisa membelinya di ketengan kok.

Ketiga, dampak industri tembakau anak dan remaja yang semakin besar tidak luput dari lemahnya regulasi regulasi tembakau di Indonesia.

Keputusan Presiden Joko Widodo untuk memperkuat regulasi dengan mengubah Peraturan Pemerintah nomor 109 Tahun 2012 belum terealisasi hingga saat ini.

Dari Menkes Terawan hingga Menkes Budi Gunadi Sadikin, upaya perubahan PP109/2012 masih terus diperbincangkan.

Dapat dikatakan bahwa regulasi tembakau Indonesia masih perlu diperbaiki agar tidak menjadi regulasi yang paling lemah di dunia.

Selain itu, Indonesia merupakan satu-satunya negara di Asia yang belum meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) yang merupakan hukum internasional saat ini (sejak tahun 2004).

Mengacu pada susunan isu-isu tersebut bukan berarti harapan dan peluang untuk memperketat regulasi di Indonesia tertutup, melainkan untuk melindungi dan menyelamatkan anak-anak dari paparan dan dampak industri tembakau.

Harapan dan peluang regulasi yang dapat melindungi anak-anak Indonesia dari dampak industri tembakau adalah RPP Kesehatan, turunan / amanat Undang-Undang Nomor 17 tentang Kesehatan.

Kini pembahasan dan pembahasan RPP Kesehatan sudah selesai dan menunggu persetujuan Presiden Joko Widodo.

Oleh karena itu, bagi Presiden Joko Widodo, sangat mendesak untuk segera meratifikasi rencana kesehatan yang dimaksud, yang telah ditinggalkan selama setahun.

Wajar jika masyarakat menginginkan Presiden Joko Widodo segera meratifikasi RPP Kesehatan sebelum berakhirnya masa jabatannya pada tahun 2024-10.

Tujuannya agar bonus kependudukan pada tahun 2030 dan generasi emas pada tahun 2045 benar-benar dapat terwujud.

Jangan sampai terjadi sebaliknya justru fenomena generasi sakit-sakitan, bodoh, dan miskin yang disebabkan oleh pola konsumsi dan pola hidup yang tidak sehat

Pengesahan RPP Kesehatan ini merupakan wujud koordinasi Presiden Joko Widodo bahkan menjadi warisan yang sangat berarti untuk melindungi anak - anak dan remaja di Indonesia.

Memastikan bahwa anak-anak dan remaja di Indonesia tidak dieksploitasi oleh orang-orang di industri tembakau yang ingin menggunakan bisnis pribadinya.

Dunia yang Bahagia bukanlah Hari Tembakau, melainkan menyelamatkan anak-anak Indonesia dari pengaruh tembakau terhadap generasi emas Indonesia.


* ) Penulis adalah Pengamat Perlindungan Konsumen dan Kebijakan Publik, Ketua Komite Negara Pengendalian Tembakau, Dewan Harian YLKI, periode 2015-2025.