JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Kamis memeriksa Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Mendes PDTT) Abdul Halim Iskandar sebagai saksi dalam penyidikan kasus dugaan tindak pidana korupsi suap pengurusan dana hibah kepada organisasi kemasyarakatan (ormas) yang bersumber dari APBD Provinsi Jawa Timur tahun anggaran 2019-2022. “Iya, pemanggilannya terkait masalah di Provinsi Jawa Timur,” kata Halim pada hari Kamis di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta.

Halim tiba di Gedung Merah Putih KPK pada pukul 09.52 WIB tanpa didampingi pengacaranya.

Ia mengaku tidak mempersiapkan diri secara khusus untuk pemeriksaan tersebut dan akan menjawab pertanyaan sesuai dengan apa yang diketahuinya.

“Saya tidak (mempersiapkan diri). Apa pun yang mereka tanyakan kepada saya, saya jawab sesuai dengan apa yang saya miliki,” katanya. Sebelumnya, pada Jumat, 12 Juli 2024, penyidik KPK menetapkan 21 orang tersangka dalam pengembangan penyidikan kasus dugaan tindak pidana korupsi suap terkait dengan pengurusan dana hibah kepada kelompok masyarakat (pokumas) yang bersumber dari APBD Provinsi Jawa Timur tahun anggaran 2019-2022. Diumumkan.

“Nama-nama tersangka dan perbuatan melawan hukum yang dilakukan para tersangka akan disampaikan pada waktunya setelah penyidikan dianggap cukup,” kata Tessa. Juru bicara dan penyidik KPK menjelaskan bahwa penetapan tersangka tersebut berdasarkan surat perintah penyidikan (sprindik) yang dikeluarkan pada 5 Juli 2024 untuk melakukan penggeledahan.

“Penyidikan kasus ini merupakan pengembangan dari kasus OTT (Operasi Tangkap Tangan) yang dilakukan KPK pada September 2022 terhadap STPS (Sahat Tua P. Simanjuntak), wakil ketua dan teman DPRD Jawa Timur,” kata Tessa.

Sebelumnya, majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Surabaya memvonis Wakil Ketua DPRD Jawa Timur nonaktif Sahat Tua P. Simanjuntak dengan hukuman sembilan tahun penjara dalam kasus korupsi dana hibah pokok-pokok pikiran (pokir) DPRD Jawa Timur tahun anggaran 2021. “Menjatuhkan pidana denda sebesar Rp 1 miliar subsider sembilan tahun enam bulan kurungan,” kata Ketua Majelis Hakim I Dewa Suardhita, Selasa (26/9/2023). Hakim juga mewajibkan terdakwa Sahat membayar uang pengganti kerugian negara sebesar Rp 39,5 miliar dalam waktu satu bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap. Jika ia tidak dapat membayar uang pengganti, maka harta bendanya akan disita oleh negara dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.

“Jika dia tidak bisa membayar, dia akan diganti dengan hukuman penjara empat tahun,” kata Sualdita.

Hakim menemukan bahwa terdakwa Sahat telah melanggar Pasal 12a dan 18 UU No. 31 tahun 1999 (sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 tahun 2001) tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.

Hakim juga mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan terdakwa, yaitu tidak membantu pemerintah dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih dari korupsi dan pemberantasan korupsi, serta tidak mengembalikan uang hasil korupsi.

“Hal-hal yang meringankan terdakwa belum pernah dihukum dan memiliki tanggungan keluarga,” kata Hakim I Dewa Suardhita.



Majelis hakim menjatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan hak politik kepada Sahat Tua P. Simanjuntak.

Jaksa KPK Arif Suhelmanto menerima putusan tersebut, meskipun lebih rendah dari tuntutan jaksa.

“Kami merasa putusan yang dijatuhkan oleh hakim sudah memenuhi rasa keadilan masyarakat dan kami memutuskan untuk menerima putusan yang mulia,” kata Arif. Sahat Tua Simanjuntak ditangkap oleh KPK pada Desember 2022. Sahat, bersama dengan anak buahnya Rusudi dan Muhammad Chozin (almarhum), menerima suap dari Abdul Hamid dan Ilham Wahudi (dikenal dengan nama Een).

Suap diterima Sahat sebagai imbalan atas kelancaran pencairan dana hibah kelompok masyarakat; dalam kurun waktu 2020 hingga 2023, sekitar Rp 200 miliar dana hibah berhasil dicairkan oleh Sahat.

Sementara itu, Abdul Hamid dan Ilham Wahyudi telah divonis dua setengah tahun penjara. Keduanyamenerima hukuman yang jauh lebih ringan karena mereka adalah pelaku yang bekerja sama dalam keadilan.